Agama Rakyat

komunal.jpg

Dalam wacana pemikiran Islam kekinian, teologi pembebasan menjadi istilah yang cukup populer, terutama di kalangan pergerakan dan anak-anak muda. Teologi ini dalam dunia Islam digagas dan dipopulerkan oleh beberapa intelektual muslim seperti Ali Asghar Engineer dari India, Farid Essack dari Afsel, atau tokoh2 yang dapat dikatakan ‘sejalur’ dengan mereka seperti Hasan Hanafi dari Mesir dan Fatimah Mernissi dari Maroko. Tidak bisa dilewatkan juga intelektual pejuang revolusi Iran, Ali Syariati.

Teologi pembebasan secara garis besar adalah upaya untuk merubah paradigma atau pola pikir dalam memahami teologi atau konsep berketuhanan maupun ke-beragama-an dari yang selama ini dipahami bersifat abstrak dan elitis menjadi lebih konkret dan historis. Teologi bukan hanya bersifat transenden tapi juga kontekstual.

Teologi yang hanya berkutat pada wilayah metafisik, maya dan transenden, akan tercerabut dari akar sosialnya, sehingga tidak jarang menjadi alat untuk menina-bobokan masyarakat terhadap kenyataan konstruksi sosial yang menindas. Dalam kerangka ini Tauhid sebagai tonggak keimanan tidak lagi hanya dimaknai sebagai ‘satu’ Tuhan’, tetapi juga ‘satu’ umat. Kesatuan umat dalam makna2 yang sebenar-benarnya adalah umat yang berkeadilan, yang tidak dibedakan oleh suku bangsa dan ras, tidak ada kelas yang menindas dan yang ditindas, tidak ada penghisapan dari manusia terhadap manusia lainnya.

Kalimat La ilahaillallah adalah deklerasi universal penolakan terhadap semua bentuk penindasan di muka bumi. Karena penindasan bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan. Persaudaraan muslim atau Ukhuwah Islamiyah hanya benar-benar terjadi jika tidak ada diskriminasi dan penindasan.
Bagaimana mungkin terjadi solidaritas Islam jika di antara sesama muslim masih terjadi penindasan dari kaum mustakbirin (para penindas) terhadap kaum mustadafhin (yang tertindas)? Bagaimana mungkin terjadi Ukhuwah Islamiyah bila masih ada segolongan muslim yang merampas hak-hak muslim lainnya?

Teologi pembebasan menganggap tafsiran agama bukanlah sesuatu yang bersifat netral. Karena diakui bahwa walaupun dengan sumber ajaran yang sama, namun relatifitas dari manusia itu sendiri menyebabkan terjadinya perbedaan pemaknaan dan interpretasi terhadap teks-teks agama. Sehingga agama yang dipahami akan sangat dipengaruhi oleh ‘muatan’ dari para penafsir dan semua konteks yang meliputi teks.

Demikian juga agama adalah ‘pilihan’. Teks-teks yang dipilih untuk menjelaskan realitas, erat kaitannya dengan kepentingan-kepentingan. Contoh, ada seorang pejabat negara yang sedang terlibat kasus korupsi dan diberitakan di berbagai media. Lalu dia pun mengadakan pengajian di rumahnya. Dalam pengajian sang ustad memilih teks yang menegaskan kepada hadirin tentang kewajiban setiap muslim untuk menutupi aib saudaranya.

Aneh! jelas-jelas si tuan rumah sedang terlibat kasus korupsi. Mengapa isi ceramahnya itu bukan tentang larangan agama untuk mencuri? Atau tentang pemimpin yang harus mempertanggung jawabkan amanah? Atau juga kepada kolega-kolega tuan rumah yang menghadiri acara tersebut diuraikan tentang kewajiban meyampaikan kebenaran walaupun pahit? ‘Agama’ pun ternyata bisa dijadikan alat untuk menutupi tindakan kriminal

Dalam kerangka tafsir yang tidak netral tersebut teologi pembebasan dengan tegas berpihak kepada kaum mustadhafin atau orang tertindas. Pemahaman seperti ini bukan berangkat dari sekedar keinginan untuk menampilkan ‘wajah’ Islam sebagai pembela yang lemah. Atau sekedar sebuah kecentilan intelektual yang terpesona dengan jargon-jargon heroik anti penindasan. Namun memang berakar dari ajaran Islam yang terkandung dari teks itu sendiri dan akar historis dari sejarah perjuangan para nabi terutama Muhammad. Akar-akar ajaran dari teks dan historis yang selama ini tertimbun oleh puing-puing reruntuhan peradaban manusia. Reruntuhan peradaban yang terutama akibat dari pergulatan agama dengan kekuasaan.

Sangat banyak dalil teks yang berbicara soal pembelaan terhadap kaum tertindas. Keadilan pun menjadi prinsip agama yang sangat mendasar, sampai dikatakan adil itu paling dekat dengan takwa! Muhammad berjuang melakukan pencerahan dengan mengorganisir masyarakat untuk melawan kebodohan, memerangi kemiskinan, membebaskan budak, mengangkat harkat kaum perempuan, melawan rezim-rezim yang otoriter, menegakkan keadilan dan mengecam penumpukan harta pada segelitir orang, serta memgembangkan sifat toleransi.

Dengan demikian parameter-parameter keimanan-pun tidak lagi terbatas pada ibadah ritual pribadi. Ibadah ritual pribadi itu bersifat privat, suatu hubungan khusus seorang hamba pada Tuhannya, dimana orang lain pun tidak punya otoritas untuk menjustifikasi keimanan seseorang. Tetapi parameter keimanan secara lebih luas diukur di lapangan sosial yang lebih konkret dan nyata. Karena berada di wilayah sosial yang konkret maka setiap orang pun berhak dan bisa menilainya. Parameter itu salah satunya seperti dikatakan Nabi “Tidak beriman orang yang tidur kenyang sementara tetangganya kelaparan”

Teologi pembebasan mengubah paradigma yang menempatkan simbol2 keagamaan yg sempit sebagai sebuah parameter tatanan nilai sosial. Ibadah ritual seperti sholat, zikir, puasa dan haji adalah wilayah privat, urusan seseorang dengan Tuhannya. Tidak bisa digunakan sebagai ukuran keimanan dalam lingkungan sosial. Kenapa? Karena tidak jarang para koruptor dan penindas justru memanfaatkan simbol-simbol sempit seperti penampilan, pakaian dan ibadah-ibadah ritual untuk ‘show of kesolehan’ di depan publik. Kita harus tegas katakan misalnya “Kamu naik haji itu urusanmu, tetapi korupsimu harus dipertanggung jawabkan, karena itu menyengsarakan orang lain”. Jika kita tidak melakukan itu maka agama akan tercabut dari akar sosialnya. Seseorang yang bejat dalam urusan sosial namun dalam kacamata agama (yang sempit) mendapat tempat terhormat.

Bahkan kita perlu mendekontruksi pemaknaan Rukun Islam…

Surabaya, 3 Desember 2002

8 Comments

  1. Ada agama samawi dan ada agama non samawi.
    Agama rakyat masuk kategori mana ?

    Ada agama rakyat berarti ada agama penguasa. Berarti ada agama proletar maupun agama borjuis.

    Agama rakyat adalah agama yang memihak pada rakyat. Emang ada agama yang tidak memihak pada rakyat?

    Tidak ada yang salah dengan agama. Dan tidak ada yang salah dengan penafsirannya. Karena semua agama PASTI mengajarkan manusia ke jalan yang baik dan benar. Semua masih relevan. Yang salah adalah KITA, karena tidak belajar dan menjalankan agama secara komprehensif dan integral. 🙂

  2. Saudara2 sekalian… Setelah saya membaca tulisan sahabat saya Aufa, maka :
    “Dari lubuk pantat saya yang paling dalam, saya memutuskan untuk PINDAH AGAMA, dari Agama Islam menjadi Agama Rakyat”

    Demikian harap maklum adanya. ^_^

  3. Yup benar, kl ada agama rakyat, konsekuensi nya ada pula agama penguasa. Ini adalah soal paradigma. Paradigma agama penguasa akan memberlakukan hukum potong tangan terhadap pencuri meskipun karena lapar. Tetapi menurut paradigma agama rakyat, justru penguasa yang mesti diadili kenapa sampai ada rakyat yang lapar.

  4. emang demikian kita harus berteologi menuju praksis pembebasan masyarakat…

  5. Agama Rakyat?? untuk rakyat yang mana? rakyat yang tertindas? tertindas berdasarkan parameter siapa?
    Maaf aku ini dunggu, ilmu ku hanya tingkat serdadu, setahu-ku, sepengatahaun-ku, Islam itu tidak lah hanya mengurusi ibadah mahdah saja. Seperti tercermin dalam RUKUN ISLAM yg 5 itu, bukan kah zakat berada di level yg lebih tinggi di bandingkan dengan Puasa & juga ibadah haji, yang mungkin bagi sebagian orang merupakan tingat kesaalehan tertiggi. So, kalau lah beragama tp masih saja korupsi, bukan lah di salah agamanya, tp justru di hati mereka sudah tidak agama, seklaipun dia seorang HAJI

  6. Jangan membuat terminologi baru untuk menuntskan sebuah persoalan. terminologi agama rakyat seakan menjadi harapan baru bagi kemaslahatan. agama rakyat yang mana? kita semua ini rakyat, jangan-jangan dengan menunggangi terminologi agama rakyat, ada lagi yang mau memanfaatkan kesempatan. belum tuntas pemahaman terhadap satu agama yang diyakini kok mengisukan lagi agama lain………..yang dibutuhkan sekarang bukan sekedar jargon tetapi komitmen yang jelas tentang sebuah perubahan yang pasti….

  7. # Kiem
    Tentu terminologi ‘agama rakyat’ bukan untuk memberi2 harapan dalam menuntaskan persoalan. Di jg bukan suatu hal yang berkaitan dengan ‘tunggang menunggangi’ atau ‘ memanfaatkan kesempatan’. Tidak juga berbicara soal jargon2 ataupun mengisukan agama lain di saat pemahaman terhadap satu agama blm tuntas. Dia sekali lagi.., bagiku adalah sebuah paradigma.., cara pandang, atau kerangka berpikir, yang ditawarkan justru dalam UPAYA memahami agama. Yg merupakan antitesis terhadap pemahaman mainstream yang aku lihat di masyarakat.

    Aku sepakat bhw yg dibutuhkan adalah komitmen, walapun komitmen tidak bisa diukur dari sebuah tulisan, apalagi sebuah komentar 🙂 Untuk sebuah perubahaan ke arah yg lebih baik, walaupun tidak ada yang pasti. Dialektis saja..

  8. Teologi pembebasan yang menjadi dasar anda menulis itu miliknya sapa?
    Mampu menulis begitu banyak huruf dengan rangkaian kata yang mudah difahami merupakan salah satu bentuk kesuksesan tersendiri. Apalagi ditambah sebuah sikap penulis terhadap wacana teologi pembebasan dengan realita sosial sekarang ini. sory telat. bagus kok, q aja belum bisa kayak gitu. sukses dech.


Comments RSS TrackBack Identifier URI

Leave a reply to sadam Cancel reply